Hello !! >

Hi, welcome to my world, enjoy this blog :D

Senin, 06 Februari 2012

Cerpen - Pak Bon


Yah, semua orang benar. Nenek, ibu, kakak, dan adik. Bahkan para gelandangan, pencopet, guru juga professor. Mereka benar. Ucapan mereka yang tidak perlu seorang pun untuk menyanggah dan menentangnya. Inilah. Tidak ada seorang pun senang dibanding-bandingkan, dan anak sebelas tahun dihadapanku ini adalah satu dari seribu bukti nyata yang pernah kutemui.

Aku bukan guru bimbingan konseling atau semacamnya. Bukan pula kepala sekolah dan seperangkat rekan kerjanya di bangunan ini. Tapi aku bekerja disini. Bekerja di bangunan berpagar di sudut kota, SD Bina Cita. Pekerjaan berat yang membuatku senang, karena satu hal. Aku mempunyai keunikan yang membedakanku dengan bapak ibu berseragam yang lalu lalang dengan motornya. Anak-anak memanggilku Pak Bon. Dan aku bangga dengan panggilan ini.

*****


Pagi-pagi sekali aku mengayuh sepeda. Beradu cepat dengan waktu yang tiada capeknya berlari. Angin segar menghiburku untuk terus mengayuh dan mengayuh. Menikmati semburat merah yang hampir pudar pada batas penglihatanku. Samar-samar berganti biru cerah berhias alunan merdu celoteh alam dari burung-burung yang berhambur dari sangkarnya.

Sekolah masih sepi, aku harus cepat-cepat menyelesaikan tugasku sebelum makhluk berseragam itu memenuhi ruangan luas ini. Mulai dari lantai tiga di ujung langit. Bukan berlebihan, letaknya memang disana, di ujung langit. Ujung langit, karena disanalah angin berhembus paling segar dan hamparan biru dengan gumpalan putih paling indah terlihat. Berbeda dengan lantai dua, atau lantai dasar. Lantai dua adalah hutan. Hutan, karena ada banyak sekali pohon yang setara tingginya dengan tempat itu. Seolah lantai dua adalah bagian dari komunitas hijau disana. Seolah bersaing siapa yang lebih tinggi, aku atau kau?. Sayang sekali lantai satu hanyalah bagian dari bangunan. Tidak ada yang menarik di tempat itu.

Belum selesai pekerjaanku, satu dua siswa menginjakkan kaki di lahan yang selama ini tidak pernah kutahu berapa luas sebenarnya. Hm, berangkat gasik. Baguslah. Mereka anak-anak rajin.

Bruum… sekarang suara motor. Aku tidak tertarik untuk mengintip siapa pemilik motor yang baru saja memasuki parkiran. Hanya terbersit pemikiran sederhana, sekolah sudah mulai penuh dengan adanya beberapa nyawa disini. Aku harus beradu cepat dengan waktu.

“Pagi, Pak!” sapa salah seorang siswa yang kebetulan menemukanku sedang membersihkan lorong, Fikri namanya. Aku memberi apa yang dia inginkan, senyum dan lambaian ringan serta tanpa lupa jawaban dari sapaannya “Haa, iya! Wah, mas Fikri rajin sekali.”. Kemudian si penanya menyanggah dengan kalimat “Rajinan Pak Bon yang datang duluan tho, Pak!”. Aku tersenyum kemudian kembali sibuk dengan gagang pel di tanganku.

KRRIING…

Bel berbunyi. Aku masih harus menyingkirkan daun-daun kering di halaman mushola sekolah. Saat ini sekolah sudah penuh, dan ini hari senin. Itu berarti aku harus menghentikan pekerjaanku dengan daun. Sementara untuk membantu para siswa menyiapkan peralatan upacara. Bukan kewajibanku sebenarnya, tapi aku sudah hafal dengan teriakan khas anak-anak di pagi menjelang upacara. Mereka akan mencariku dan menanyakan seputar keberadaan rol kabel. Beberapa anak tampak berlarian keluar dari koperasi. Yang lain tampak menempatkan diri di lapangan.

Upacara bendera berlangsung seperti pada umumnya. Dengan barisan rapi guru dan siswa. Dengan bacaan pancasila dan lantunan lagu kebangsaan. Dan berakhir dengan beberapa anak yang terkena hukuman. Biasa, lupa memakai topi, dasi, atau karena bersepatu zebra. Sepatu hitam dengan larik putih walau setitik. Bisa juga karena terlambat.

“Kalian tidak tahu peraturan di sekolah ini?!” bentak Pak Giman, spesialis penanganan siswa yang melanggar aturan sekolah.

“Lioni, kenapa tidak memakai topi!” Lioni yang sudah tertunduk lemas hanya bisa menjawab, ketinggalan pak.. dengan lirih.

“Raka! Faza! Tiyo! Kenapa baru datang ke barisan saat upacara sudah dimulai! Kamu tidak melihat jam?! Apa kamu tidak dengar bel sudah berbunyi?!” Pak Giman semakin berapi-api. Aku yang melihatnya hanya geleng-geleng kepala. Peraturan tegas yang dijadikan prioritas utama pengukur kedisiplinan siswa memang keunggulan dari sekolah ini. Aku beralih ke tempat lain di sudut sekolah, memburu sampah untuk dibersihkan. Sementara Pak Giman tengah memberi pelajaran kepada siswanya.

“Tidak lihat itu, si Reza?! Contoh dia, dia anak yang disiplin dan bla.. bla.. bla..” dan seterusnya. Dan ceramah berakhir setelah masing-masing kaki menebus kesalahannya, berlari sepuluh menit mengitari lapangan sekolah.

*****

Sebagian dari mereka yang melimpahkan keluh kesahnya hanya butuh didengarkan, meski tanpa jawaban setidaknya secuil penat telah hilang. Tapi sebagian lagi sangat butuh nasihat, butuh ketepatan dalam penanganan.

            Ilmu yang aku punya belum cukup untuk mejawab semua kegelisahan anak-anak, namun setidaknya pengalaman telah mengajari beberapa pelajaran yang berharga padaku. Tentang anak-anak ini.

Lihat Tiyo, usai bel berdering panjang tiga kali, satu dari sekian siswa yang telah memutari lapangan pagi tadi, menemuiku. Aku membiarkannya bercerita sembari aku mulai berkemas.

“Rese banget sih Pak Giman! Tau kan, pak! Tadi pagi.. masa telat satu menit aja disuruh muteri lapangan lima menit. Penyiksaan,”

“Yah, Mas Tiyo, nama sekolahnya aja SD Bina Cita, setiap detik disamping pelajaran wajib, Mas Tiyo juga harus mau didisiplinkan dengan sejumlah peraturan, maksudnya kan supaya jadi lebih terarah dan lebih mantap menentukan langkah, betul kan Mas Tiyo?” ucapku, masih sambil berkemas.

“Iya sih, pak. Emang bener… tapi kan enggak harus sekejam itu juga kan? Guru emang punya hak, kewajiban malah buat ‘mengurus’ muridnya, tapi kan kami juga punya hak untuk menolak, menyampaikan keberatan. Apalagi kalau sampai penyiksaan… mana gurunya malah ngobrol lagi, sama siswa lain. Pilih kasih.” Aku melirik Tiyo, kemudian duduk di seberangnya, berhadap-hadapan.

“Reza?” dia mengangguk. “Bukannya tadi pagi kalian bareng-bareng ya? Di koperasi kalau nggak salah..” Tiyo mengangguk lagi.

“Reza mah nggak kena hukum, dia nyelip masuk barisan sebelum aku sama temen-temen selesai njilid tugas.”

“Oh… jadi, masalahnya bukan hukumannya ya Mas?” Tiyo menatapku.

“Maksud Pak Bon?” tanyanya.

“Ya… saya kan tau juga, Mas Tiyo pernah dihukum kaya gini…” aku menghela nafas “Jadi kayaknya bukan masalah lagi. Bapak juga tadi liat kok waktu Pak Giman ngomelin kalian. Jadi, Reza? pinter juga dia bisa masuk barisan tanpa ketahuan. Pak Giman kan nggak tau, Reza sama kayak Mas Tiyo… lari-larian dari koperasi. Lagian badan Reza kecil, bisa nyelungsep, jadi nggak ketauan… ”

“Iya, tapi kan nyebelin. Liat tuh Reza, anak yang disiplin, tepat waktu… hih Reza tuh, dassar! Pak Giman juga sama aja!” Tiyo memonyongkan bibirnya, kesal.

“Haha… iya, Reza emang salah, ninggalin kalian nyelesein tugas, Pak Giman, maksud beliau kan untuk mendisplinkan… khusnudzon aja, nggak ada niat buat bandingin kalian kok.”

“Tapi sama aja, Reza anak baik, aku anak buruk. Gitu kan maksud Pak Giman?” Tiyo tetap ngotot.

“Ya sudah, ikhlasin aja Mas. Saya mau kesana, mau ikut?” Aku berdiri. Tiyo tidak berkata apa-apa, tapi dia mengikutiku. Aku membawanya ke aula sekolah. Tiyo masih diam mengekor.

“Lihat, Juara Badminton Putra Antar Pelajar Se-Kota Semarang. Itu siapa? si anak buruk, sedang memegang piala.” ucapku menunjuk sebuah foto.

“Pak Bon kok gitu? Kok anak buruk?” protesnya. Anak laki-laki dalam foto itu memang Tiyo.

“Lho, Mas Tiyo sendiri yang bilang. Reza, anak baik, Mas Tiyo anak buruk. Inget kan? Barusan aja Mas Tiyo bilang kan…” ucapku. Tiyo diam.

“Mas Tiyo mau dipanggil anak buruk?” dia menggeleng.

“Mas Tiyo emang bukan anak buruk, anak buruk nggak mungkin memenangkan kejuaraan. Iya kan Mas? Mas Tiyo memang terlambat upacara, Pak Giman juga mengatakan sesuatu yang menyinggung perasaan. Tapi, apapun maksud Pak Giman saat itu, kita anggap aja sebagai sesuatu yang positif, ya Mas?”

“Sekarang ‘dah hampir maghrib, Mas Tiyo mau pulang kan? Nanti Pak Bon antar sampai pangkalan bis.” Tiyo tersenyum dan mengangguk.

“Oke Pak, Let’s Go!” soraknya. Aku tersenyum. Hidup memang tidak pernah hambar. Seperti masakan indonesia yang beraneka rasa. Asin, asam, sedap, manis, pahit. Ada kalanya kita bisa tersenyum dengan kemanisan, tapi ada juga waktu dimana kita harus mau belajar dari kepahitan. Dan terbukti untuk kesekian kalinya, pengalaman adalah guru terbaik kehidupan.

*****
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar