Hello !! >

Hi, welcome to my world, enjoy this blog :D

Minggu, 17 Juni 2012

Cerpen - Tiga Tiga


“Selesai!!” ungkapku lega. Aku berdiri dari kursi, mengangkat kertas putih yang telah penuh dengan warna di tanganku.
Lho, baru selesai Dit?” Fira menepuk pundakku. Aku menoleh.
Iya, terus ini gimana?” aku menyodorkan kertas tugasku, berbinar.
Lho, punya temen-temen udah dibawa Sinta semua, mau di scan.”
BREGH. Ruang kelas seketika berputar kencang, bermetamorfosis menjadi wahana halilintar. Aku jatuh terduduk, lemas. Harus berapa kali? Ini sudah perbaikan yang kedua, ini sudah kali ketiga aku mengerjakan tugas yang sama.
Kelas kami mendapat tugas membuat poster tentang olahraga. Entah bagaimana, sepertinya kami sedikit miskomunikasi dengan guru pengampu. Tugas pertama hendak dikumpulkan, Pak Laryo, guru olahraga kami menolak menerima tugas dalam kertas gambar. Beliau meminta tugas dikumpulkan dalam bentuk softfile. Maka perbaikan pertama, kami sekelas kompakan membuat poster digital. Selang beberapa hari ketika ketua kelas mengumpulkan softfile tugas poster kami, Pak Laryo kembali marah.

Kalian itu kalau guru memberi perintah didengarkan! Saya kan sudah bilang, kalian membuat poster, terus di scan dan dikumpulkan ke saya dalam bentuk softfile satu kelas, kalau seperti ini bisa saja kalian copy paste internet.”
Tapi kemarin bapak bilang..”
Bilang apa? Kamu saja yang terlalu banyak omong, tugas yang saya berikan sudah sangat jelas. Kalau kalian tidak faham seharusnya sudah sejak dulu ketika tugas pertama kali diberikan kalian bertanya. Sudah, pokoknya saya mau kelasmu hari ini tugas selesai,” Rio menirukan gaya Pak Laryo ketika memarahinya, mengukir kerutan di setiap wajah penghuni kelas.
Begitulah akhirnya, minoritas anak yang kebetulan membawa poster yang telah jadi, tenang-tenang saja karena tanggungan mereka tinggal scan poster. Sisanya yang mayoritas, termasuk aku, harus ngebut menggambar poster dan mewarnai.
Sialnya pagi tadi aku belum sarapan sehingga siang ini aku harus makan di kantin, yang membuatku tertinggal mengumpulkan gambar kepada Sinta untuk kemudian di scan massal. Tadi ada Zahra, sohib kentalku yang seharian mewarnai bersamaku, namun siang ini kami terpisah. Zahra yang sudah sarapan melanjutkan mewarnai sedangkan aku makan di kantin ditemani Lala. Dan sekembalinya dari kantin hingga sekarang aku tidak melihat batang hidung Zahra.
Terus aku gimana?” aku mengguncang kertas yang kubawa, panik.
Lha dari tadi kan kamu mewarnainya sama Zahra.”
Zahra mana? Yang bawa flashdisk kan dia, flashdiskku masih dikumpulin buat tugas lain. Mana HP-ku ketinggalan di rumah,” aku tambah panik, mencari sosok Zahra di sudut kelas. Nihil.
Ya mana kutahu, yah Dita.. harusnya kamu kompakan dong, sama Zahra,” Fira menepuk pundakku, mengambil tasnya.
Mau pulang?” aku menatap Fira. Fira mengangguk.
Iya, duluan ya Dit,” Fira melambaikan tangan sambil tersenyum. Aku semakin lemas. Deg. Tiba-tiba aku teringat tugas lain yang kukerjakan. Tugas seni rupa, menggambar bangun tiga dimensi. Aku bergegas bangkit dan menuju mejaku.
Jeng-jeng.. buku gambar Zahra terbuka manis diatas mejaku, tergambar jelas goresan pensil yang kutorehkan diatasnya. Yah, pagi tadi juga ketika Rio mengumpulkan tugas olahraga, aku sudah menyelesaikannya. Tugas seni rupa Zahra tertinggal, begitu juga punyaku. Bukan hanya tertinggal, Zahra mengatakan tugasnya hilang.
Beruntung Zahra teringat buku gambarnya yang sempat hilang semester lalu, telah ditemukan dan disimpan di dalam lemari kelas. Beruntung masih tersisa satu lembar terakhir yang bisa digunakan untuk melunasi tugas kenaikan kelas ini. Zahra meminta bantuanku untuk menggambar. Aku yang sedang dalam mood yang baik menyanggupi untuk menyelesaikannya sehingga bisa dibawa pulang Zahra untuk diarsir dan dikumpulkan besok.
Namun sekarang moodku sedang sangat-sangat jelek. Melihat tugasnya masih tergeletak manis dimejaku membuatku marah. Mana Zahra? Katanya minta bantuanku. Sekarang malah disia-siakan. Mana Zahra? Mana sohib kentalku, aku butuh dia malah ditinggal sendirian. Sahabat apaan yang nggak ada saat aku butuh? Jahat.
Air mataku menitik, namun segera kuhapus mencegah orang lain mengetahuinya. Spontan aku menyobek tugas bangun tiga dimensi yang telah kugambar pada halaman buku gambar Zahra, dan menyobeknya lagi menjadi tiga bagian. Kesetanan aku menatanya kembali diatas meja. Tiga bagian yang telah terpisah kuletakkan di atas mejanya, seperti menyusun puzzle. Biar. Biar sekalian Zahra tau tugasnya sobek. Biar sekalian aku ngomong sama dia kalau aku yang nyobek. Biar dia tahu apa yang membuatku menyobeknya. Biar dia tahu aku marah. Biar dia tahu aku marah sama dia.
Aku puas. Aku segera mengambil kertas tugas olahragaku dan memasukkannya ke dalam tas. Entahlah apa yang akan kulakukan dengannya.
Tugas olahragamu udah Dit?” tiba-tiba saja Nia sudah berdiri di sebelahku. Aku menggeleng.
Tinggal di scan,” ketusku.
Belum di scan? Sisan tak scan aja gimana? Punyaku juga belum,” tawar Nia. Aku berbinar, mengangguk-angguk.
Boleh boleh, mau? Titip ya, makasih,” ucapku menyodorkan tugas.
Iya,” ucap Nia.
Ya Allah makasih lho Niaa…” aku tersenyum kemudian meninggalkan kelas dengan lega, meskipun masih menyimpan kesal pada Zahra, setidaknya bebanku berkurang.
***
Sorenya aku berangkat renang. Disamping tugas poster dari Pak Laryo, kami diharuskan mengikuti penilaian renang untuk menambah nilai.
Aku sudah sampai di kolam renang. Mataku menyapu penjuru kolam, mencari-cari wajah yang kukenal. Ada beberapa anak kelas lain, rupanya. Aku segera bergabung dengan teman-teman satu kelasku. Berlatih.
“Hei Dita!” seseorang dibelakang menepuk pundakku. Aku menoleh.
“Zahra mana?” ooh, ternyata Fira.
“Mana kutahu,” aku mengangkat bahu, memutar bola mata.
“Haah, udahlah Dit, masak masih marah. Nih tak cipratin air biar dingin,” Fira menyerang mukaku dengan air kolam, aku membalasnya.
“Lha nyebelin sih, pokoknya aku marah sama Zahra. Kamu tahu tugas seni yang tadi tak garap? Udah tak sobek-sobek,” tanganku bermain seolah sedang menyobek kertas.
Ha? Serius? Jahat banget...”
Jahat siapa sama dia! Aku udah dua kali bantuin dia gambar, yang pertama dihilangin, yang kedua ditinggal, sakit lah Fir..” aku mengepalkan tangan dan menekannya di dadaku, “Mana tadi aku ditinggal, ya udah tak sobek aja tugasnya.”
Terus?”
Biar besok dia liat, lho, tugasku kok sobek?, Terus tanya ke aku. Terus aku bilang AKU YANG NYOBEK TUGASMU,” aku menyeringai licik. Fira menghela nafas panjang, menepuk pundakku kemudian mengajakku ke sudut kolam untuk penilaian.
***
Aku sudah mulai kedinginan dan mengeriput. Sudah beberapa kali bersin-bersin pula. Teman-teman masih asyik bermain dengan air. Sudah ah, batinku. Aku menepi ke pinggir kolam. Baru saja hendak keluar dari kolam, Zahra datang.
Dit.. udah penilaian?” Zahra menghampiriku, “Tau nggak, aku belum pulang ke rumah lho dari tadi. Tadi tuh aku diajak Anan nonton futsalnya, jadi dari pulang sekolah tadi aku belum pulang,” belum sempat kujawab pertanyaannya Zahra sudah nyerocos panjang lebar.
Ooh, jadi itu alasannya dia ninggalin aku tadi siang! Buat pacaran? Ck..ck.. dasar. aku mengomel dalam hati.
Lha kamu udah penilaian Dit? Aku nggak bisa renang sama sekali Dit..” Zahra mengulangi pertanyaannya.
Udah. Aku juga nggak bisa, aku cuma meluncur tadi, ayo ah ndang masuk kolam, aku mau mentas.”
Lho, lho.. tunggu dulu Dit. Aku temenin, ajarin dulu, aku nggak bisa renang,” Zahra merengek.
Ya udah cepetan ah, ndang masuk kolam.”
Aku menceburkan diri kembali ke kolam. Menunggu Zahra meletakkan ranselnya di bangku. Zahra kembali ke kolam dengan cepat, masih memakai seragam olahraga yang tadi dipakai untuk classmeeting. Ah iya, dia kan belum sempat pulang, aku memaklumi pakaian olahraga yang dipakainya berenang. Kalau belum pulang gimana dia bisa mengambil baju renang?.
Dah, sekarang latihan meluncur aja. Tak pegangin, habis itu penilaian,” aku mengambil jarak dari Zahra untuk tempatnya meluncur. Zahra masih rewel, mengeluhkan dirinya yang tidak bisa penilaian. Aku kembali menegaskan bahwa aku yang juga tidak bisa berenang diperbolehkan mengambil penilaian meluncur saja. Sedikit membentak aku katakan bahwa aku mau mentas. Dan tampaknya bentakanku membuat Zahra menurut. Zahra kemudian berlatih meluncur.
***
“Buku gambarku mana?” aku berlarian di sepanjang kamar, mencari-cari buku gambarku yang entah dimana. Aku sudah membuat meja belajarku berantakan. Bukan hanya meja belajarku, milik kakak dan adikku tidak luput kuberantakin. Namun nihil yang kutemukan. Buku gambarku hilang tanpa jejak.
HAAACHIUU...
Aku bersin. Sepertinya kelamaan berada di kolam membuatku sedikit flu. Ditambah debu-debu yang berterbangan menggelitik hidungku. Sudahlah, daripada kelamaan nyari mending beli baru. Aku bergegas merapikan kembali meja-meja yang baru saja serupa kapal pecah. Kemudian pergi membeli dua buku gambar baru.
Menyebalkan sekali, sepertinya hukum karma berlaku disini. Sepertinya ini balasan dari perbuatan setanku menyobek tugas Zahra. Tugasku ikutan hilang. Ah, tapi jangan dikira aku membeli dua buku hanya karena sebab ini. Sejak awal aku sudah berniat akan membelikan Zahra buku baru. Lagipula besok hari terakhir mengumpulkan tugas. Aku tidak ingin merepotkan Zahra meskipun dia menyebalkan. Dia sahabatku, dan tindakanku menyobek tugasnya hanya untuk membuatnya menyesal. Membuatnya tahu bahwa aku marah padanya, supaya dia tidak mengulangi lagi. Aku sudah berjanji akan mengganti bukunya.
HAAACHIUU..
Aku kembali bersin. Aduh, apa pula ini? Flu. Hiih, kenapa aku jadi tambah jengkel sih. Masak iya ini hukum karma? Aku kan cuma nyobek satu lembar buku, masak dibalas dua! buku hilang dan flu. Nggak adil. Aku meneruskan mengerjakan tugasku dengan hati dongkol.
***
“DITAAAA...” Zahra histeris, menunjukkan tiga bagian tugasnya yang kusobek kemarin. Aku sedang sibuk mengarsir bersama teman-teman yang lain karena semalam arsiranku belum selesai sepenuhnya.
“Itu aku yang nyobek kemarin,” ucapku ketus, masih sedikit terbawa kejengkelanku kemarin padanya.
“Ha? Jahat banget kamu Dit,” Zahra membentakku, terlihat sekali kekecewaan dan kemarahan dimatanya.
“Salah siapa tugas susah-susah dibuat malah disia-sia, jujur aku marah sama kamu kemarin,” aku balas menatapnya, melunak. Mengontrol emosiku supaya tidak meledak, juga mencegah Zahra mengamuk.
“Tenang aja, aku udah dibalas Allah. Tugasku juga hilang, mana aku flu lagi,” aku mencoba tersenyum. Meskipun masih jengkel karena reaksi Zahra tidak seperti yang aku inginkan. Aku menginginkan Zahra menyesal kemudian meminta maaf padaku. Yang terjadi justru Zahra menatapku marah, maka dari itu aku mencoba melunak padanya.
“Tapi kamu keterlaluan, Dita,” kening Zahra mengerut, wajahnya memelas. Wajahnya tidak hanya menyalahkanku, namun juga memintaku untuk bersujud dan meminta maaf padanya. Enak saja. Justru kamu yang harusnya minta maaf, Zahra! Kamu nggak sadar?.
“Maaf Zahra.. aku udah dua kali bantuin kamu gambar ini, yang pertama kamu hilangin, yang kedua kamu sia-siain, siapa yang nggak jengkel coba? Terus juga kemarin kamu ninggalin aku,” aku berhati-hati memilih kata, mencegah adu mulut.
“Tenang aja Zahra, aku sudah bawain kamu buku gambar,” aku bangkit dan menuju mejaku, kemudian menyodorkan buku gambar yang kemarin kubeli, “Dah kan, sekarang kamu bisa ngerjain tugas. Sekarang, siapa yang jahat?”
“Dita, kamu kan tahu aku nggak bisa gambar Dit, aku cuma minta bantuin gambar, yang ngarsir kan aku sendiri. Tugas pertama juga aku nggak jadi minta gambarin kamu lho ya, aku cuma minta bantuin gambar bintang-bintang.”
Ha, masak? bintang..” aku mengingat-ingat, “Oh iya deng.”
Tuh kan kamu yang jahat, orang tugas pertama aku buat sendiri kok. Pakai nyobek segala. Dan kemarin juga aku kan udah cerita, Anan ngajak aku nonton futsalnya.”
“Hei, kamu ceritanya pas di kolam. Sama aja kan, kamu juga jahat sama aku. Aku butuh kamu kemarin, malah ditinggal, aku jadi susah mau ngumpulin tugas olahraga, padahal kamu tahu flashdiskku lagi ditumpuk buat tugas lain. Lagian aku kan udah dibalas,” aku masih menunggu Zahra meminta maaf, bukan menyalahkan aku terus.
“Iya aku salah, tapi nggak adil,” Zahra menunduk.
Nggak adil apanya?” aku bingung mendengar pernyataannya.
“DITAA..!! Tugasmu, basah kena air AC,” tiba-tiba Fira berteriak, berlari menuju aku dan Zahra. Aku histeris, mengipas-kipas kertasku yang basah. Untung tidak begitu banyak basahnya, jadi nggak lecek-lecek amat.
“Tiga-tiga, impas,” Zahra menepuk pundakku.
“Ha?” aku menoleh.
“Kertasku sobek tiga bagian, kamu dapat tiga balasan. Hilang, flu, basah.. maaf ya cantik, makasih juga, aku udah nyadar kesalahanku kok,” Zahra memelukku.
Hha, iya impas, aku juga minta maaf ya...” aku balas memeluknya, “Hei, kenapa aku baru dengar kata maaf sekarang. Zahra, kamu...” aku menatapnya.
Kamu nunggu impas dulu ya?” Zahra menyeringai, cekikikan kemudian berlari.
Dasar Zahra...” aku tertawa kemudian berlarian mengejarnya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar