“Selesai!!”
ungkapku lega. Aku berdiri dari kursi, mengangkat kertas putih yang
telah penuh dengan warna di tanganku.
“Lho,
baru selesai Dit?” Fira menepuk pundakku. Aku menoleh.
“Iya,
terus ini gimana?” aku menyodorkan kertas tugasku, berbinar.
“Lho,
punya temen-temen udah dibawa Sinta semua, mau di scan.”
BREGH.
Ruang kelas seketika berputar kencang,
bermetamorfosis menjadi wahana halilintar. Aku jatuh terduduk,
lemas. Harus
berapa kali? Ini sudah perbaikan yang kedua, ini sudah kali ketiga
aku mengerjakan tugas yang sama.
Kelas
kami mendapat tugas membuat poster tentang olahraga. Entah bagaimana,
sepertinya kami sedikit miskomunikasi dengan guru pengampu. Tugas
pertama hendak dikumpulkan, Pak Laryo, guru olahraga kami menolak
menerima tugas dalam kertas gambar. Beliau meminta tugas dikumpulkan
dalam bentuk softfile. Maka perbaikan pertama, kami sekelas kompakan
membuat poster digital. Selang beberapa hari ketika ketua kelas
mengumpulkan softfile tugas poster kami, Pak Laryo kembali marah.
“Kalian itu kalau guru memberi perintah didengarkan! Saya kan sudah bilang, kalian membuat poster, terus di scan dan dikumpulkan ke saya dalam bentuk softfile satu kelas, kalau seperti ini bisa saja kalian copy paste internet.”
“Tapi
kemarin bapak bilang..”
“Bilang
apa? Kamu saja yang terlalu banyak omong, tugas yang saya berikan
sudah sangat jelas. Kalau kalian tidak faham seharusnya sudah sejak
dulu ketika tugas pertama kali diberikan kalian bertanya. Sudah,
pokoknya saya mau kelasmu hari ini tugas selesai,” Rio menirukan
gaya Pak Laryo ketika memarahinya, mengukir kerutan di setiap wajah
penghuni kelas.
Begitulah
akhirnya, minoritas anak yang kebetulan membawa poster yang telah
jadi, tenang-tenang saja karena tanggungan mereka tinggal scan
poster. Sisanya yang mayoritas, termasuk aku, harus ngebut menggambar
poster dan mewarnai.
Sialnya
pagi tadi aku belum sarapan sehingga siang ini aku harus makan di
kantin, yang membuatku tertinggal mengumpulkan gambar kepada Sinta
untuk kemudian di scan massal. Tadi ada Zahra, sohib kentalku yang
seharian mewarnai bersamaku, namun siang ini kami terpisah. Zahra
yang sudah sarapan melanjutkan mewarnai sedangkan aku makan di kantin
ditemani Lala. Dan sekembalinya dari kantin hingga sekarang aku tidak
melihat batang hidung Zahra.
“Terus
aku gimana?” aku mengguncang kertas yang kubawa, panik.
“Lha
dari tadi kan kamu mewarnainya sama Zahra.”
“Zahra
mana? Yang bawa flashdisk kan dia, flashdiskku masih dikumpulin buat
tugas lain. Mana HP-ku ketinggalan di rumah,” aku tambah panik,
mencari sosok Zahra di sudut kelas. Nihil.
“Ya
mana kutahu, yah Dita.. harusnya kamu kompakan dong, sama Zahra,”
Fira menepuk pundakku, mengambil tasnya.
“Mau
pulang?” aku menatap Fira. Fira mengangguk.
“Iya,
duluan ya Dit,” Fira melambaikan tangan sambil tersenyum. Aku
semakin lemas. Deg. Tiba-tiba aku teringat tugas lain yang
kukerjakan. Tugas seni rupa, menggambar bangun tiga dimensi. Aku
bergegas bangkit dan menuju mejaku.
Jeng-jeng..
buku gambar Zahra terbuka manis diatas mejaku, tergambar jelas
goresan pensil yang kutorehkan diatasnya. Yah, pagi tadi juga ketika
Rio mengumpulkan tugas olahraga, aku sudah menyelesaikannya. Tugas
seni rupa Zahra tertinggal, begitu juga punyaku. Bukan hanya
tertinggal, Zahra mengatakan tugasnya hilang.
Beruntung
Zahra teringat buku gambarnya yang sempat hilang semester lalu, telah
ditemukan dan disimpan di dalam lemari kelas. Beruntung masih tersisa
satu lembar terakhir yang bisa digunakan untuk melunasi tugas
kenaikan kelas ini. Zahra meminta bantuanku untuk menggambar. Aku
yang sedang dalam mood yang baik menyanggupi untuk menyelesaikannya
sehingga bisa dibawa pulang Zahra untuk diarsir dan dikumpulkan
besok.
Namun
sekarang moodku sedang sangat-sangat jelek. Melihat tugasnya masih
tergeletak manis dimejaku membuatku marah. Mana Zahra? Katanya minta
bantuanku. Sekarang malah disia-siakan. Mana Zahra? Mana sohib
kentalku, aku butuh dia malah ditinggal sendirian. Sahabat apaan yang
nggak ada saat aku butuh? Jahat.
Air
mataku menitik, namun segera kuhapus mencegah orang lain
mengetahuinya. Spontan aku menyobek tugas bangun tiga dimensi yang
telah kugambar pada halaman buku gambar Zahra, dan menyobeknya lagi
menjadi tiga bagian. Kesetanan aku menatanya kembali diatas meja.
Tiga bagian yang telah terpisah kuletakkan di atas mejanya, seperti
menyusun puzzle. Biar. Biar sekalian Zahra tau tugasnya sobek. Biar
sekalian aku ngomong sama dia kalau aku yang nyobek. Biar dia tahu
apa yang membuatku menyobeknya. Biar dia tahu aku marah. Biar dia
tahu aku marah sama dia.
Aku
puas. Aku segera mengambil kertas tugas olahragaku dan memasukkannya
ke dalam tas. Entahlah apa yang akan kulakukan dengannya.
“Tugas
olahragamu udah Dit?” tiba-tiba saja Nia sudah berdiri di
sebelahku. Aku menggeleng.
“Tinggal
di scan,” ketusku.
“Belum
di scan? Sisan tak scan aja gimana? Punyaku juga belum,” tawar Nia.
Aku berbinar, mengangguk-angguk.
“Boleh
boleh, mau? Titip ya, makasih,” ucapku menyodorkan tugas.
“Iya,”
ucap Nia.
“Ya
Allah makasih lho Niaa…” aku tersenyum kemudian meninggalkan
kelas dengan lega, meskipun masih menyimpan kesal pada Zahra,
setidaknya bebanku berkurang.
***
Sorenya
aku berangkat renang. Disamping tugas poster dari Pak Laryo, kami
diharuskan mengikuti penilaian renang untuk menambah nilai.
Aku
sudah sampai di kolam renang. Mataku menyapu penjuru kolam,
mencari-cari wajah yang kukenal. Ada beberapa anak kelas lain,
rupanya. Aku segera bergabung dengan teman-teman satu kelasku.
Berlatih.
“Hei
Dita!” seseorang dibelakang menepuk pundakku. Aku menoleh.
“Zahra
mana?” ooh, ternyata Fira.
“Mana
kutahu,” aku mengangkat bahu, memutar bola mata.
“Haah,
udahlah Dit, masak masih marah. Nih tak cipratin air biar dingin,”
Fira menyerang mukaku dengan air kolam, aku membalasnya.
“Lha
nyebelin sih, pokoknya aku marah sama Zahra. Kamu tahu tugas seni
yang tadi tak garap? Udah tak sobek-sobek,” tanganku bermain seolah
sedang menyobek kertas.
“Ha?
Serius? Jahat banget...”
“Jahat
siapa sama dia! Aku udah dua kali bantuin dia gambar, yang pertama
dihilangin, yang kedua ditinggal, sakit lah Fir..” aku mengepalkan
tangan dan menekannya di dadaku, “Mana tadi aku ditinggal, ya udah
tak sobek aja tugasnya.”
“Terus?”
“Biar
besok dia liat, lho, tugasku kok sobek?,
Terus tanya ke aku. Terus aku bilang
AKU YANG NYOBEK TUGASMU,” aku menyeringai licik. Fira menghela
nafas panjang, menepuk pundakku kemudian mengajakku ke sudut kolam
untuk penilaian.
***
Aku
sudah mulai kedinginan dan mengeriput. Sudah beberapa kali
bersin-bersin pula. Teman-teman masih asyik bermain dengan air. Sudah
ah, batinku. Aku menepi ke pinggir kolam. Baru saja hendak keluar
dari kolam, Zahra datang.
“Dit..
udah penilaian?” Zahra menghampiriku, “Tau nggak, aku belum
pulang ke rumah lho dari tadi. Tadi tuh aku diajak Anan nonton
futsalnya, jadi dari pulang sekolah tadi aku belum pulang,” belum
sempat kujawab pertanyaannya Zahra sudah nyerocos panjang lebar.
Ooh,
jadi itu alasannya dia ninggalin aku tadi siang! Buat pacaran?
Ck..ck.. dasar. aku mengomel dalam
hati.
“Lha
kamu udah penilaian Dit? Aku nggak bisa renang sama sekali Dit..”
Zahra mengulangi pertanyaannya.
“Udah.
Aku juga nggak bisa, aku cuma meluncur tadi, ayo ah ndang masuk
kolam, aku mau mentas.”
“Lho,
lho.. tunggu dulu Dit. Aku temenin, ajarin dulu, aku nggak bisa
renang,” Zahra merengek.
“Ya
udah cepetan ah, ndang masuk kolam.”
Aku
menceburkan diri kembali ke kolam. Menunggu Zahra meletakkan
ranselnya di bangku. Zahra kembali ke kolam dengan cepat, masih
memakai seragam olahraga yang tadi dipakai untuk classmeeting. Ah
iya, dia kan belum sempat pulang, aku
memaklumi pakaian olahraga yang dipakainya berenang. Kalau belum
pulang gimana dia bisa mengambil baju renang?.
“Dah,
sekarang latihan meluncur aja. Tak pegangin, habis itu penilaian,”
aku mengambil jarak dari Zahra untuk tempatnya meluncur. Zahra masih
rewel, mengeluhkan dirinya yang tidak bisa penilaian. Aku kembali
menegaskan bahwa aku yang juga tidak bisa berenang diperbolehkan
mengambil penilaian meluncur saja. Sedikit membentak aku katakan
bahwa aku mau mentas. Dan tampaknya bentakanku membuat Zahra menurut.
Zahra kemudian berlatih meluncur.
***
“Buku
gambarku mana?” aku berlarian di sepanjang kamar, mencari-cari buku
gambarku yang entah dimana. Aku sudah membuat meja belajarku
berantakan. Bukan hanya meja belajarku, milik kakak dan adikku tidak
luput kuberantakin. Namun nihil yang kutemukan. Buku gambarku hilang
tanpa jejak.
HAAACHIUU...
Aku
bersin. Sepertinya kelamaan berada di kolam membuatku sedikit flu.
Ditambah debu-debu yang berterbangan menggelitik hidungku. Sudahlah,
daripada kelamaan nyari mending beli baru. Aku bergegas merapikan
kembali meja-meja yang baru saja serupa kapal pecah. Kemudian pergi
membeli dua buku gambar baru.
Menyebalkan
sekali, sepertinya hukum karma berlaku disini. Sepertinya ini balasan
dari perbuatan setanku menyobek tugas Zahra. Tugasku ikutan hilang.
Ah, tapi jangan dikira aku membeli dua buku hanya karena sebab ini.
Sejak awal aku sudah berniat akan membelikan Zahra buku baru.
Lagipula besok hari terakhir mengumpulkan tugas. Aku tidak ingin
merepotkan Zahra meskipun dia menyebalkan. Dia sahabatku, dan
tindakanku menyobek tugasnya hanya untuk membuatnya menyesal.
Membuatnya tahu bahwa aku marah padanya, supaya dia tidak mengulangi
lagi. Aku sudah berjanji akan mengganti bukunya.
HAAACHIUU..
Aku
kembali bersin. Aduh, apa pula ini? Flu. Hiih, kenapa aku jadi tambah
jengkel sih. Masak iya ini hukum karma? Aku kan cuma nyobek satu
lembar buku, masak dibalas dua! buku hilang dan flu. Nggak adil. Aku
meneruskan mengerjakan tugasku dengan hati dongkol.
***
“DITAAAA...”
Zahra histeris, menunjukkan tiga bagian tugasnya yang kusobek
kemarin. Aku sedang sibuk mengarsir bersama teman-teman yang lain
karena semalam arsiranku belum selesai sepenuhnya.
“Itu
aku yang nyobek kemarin,” ucapku ketus, masih sedikit terbawa
kejengkelanku kemarin padanya.
“Ha?
Jahat banget kamu Dit,” Zahra membentakku, terlihat sekali
kekecewaan dan kemarahan dimatanya.
“Salah
siapa tugas susah-susah dibuat malah disia-sia, jujur aku marah sama
kamu kemarin,” aku balas menatapnya, melunak. Mengontrol emosiku
supaya tidak meledak, juga mencegah Zahra mengamuk.
“Tenang
aja, aku udah dibalas Allah. Tugasku juga hilang, mana aku flu lagi,”
aku mencoba tersenyum. Meskipun masih jengkel karena reaksi Zahra
tidak seperti yang aku inginkan. Aku menginginkan Zahra menyesal
kemudian meminta maaf padaku. Yang terjadi justru Zahra menatapku
marah, maka dari itu aku mencoba melunak padanya.
“Tapi
kamu keterlaluan, Dita,” kening Zahra mengerut, wajahnya memelas.
Wajahnya tidak hanya menyalahkanku, namun juga memintaku untuk
bersujud dan meminta maaf padanya. Enak saja. Justru kamu yang
harusnya minta maaf, Zahra! Kamu nggak sadar?.
“Maaf
Zahra.. aku udah dua kali bantuin kamu gambar ini, yang pertama kamu
hilangin, yang kedua kamu sia-siain, siapa yang nggak jengkel coba?
Terus juga kemarin kamu ninggalin aku,” aku berhati-hati memilih
kata, mencegah adu mulut.
“Tenang
aja Zahra, aku sudah bawain kamu buku gambar,” aku bangkit dan
menuju mejaku, kemudian menyodorkan buku gambar yang kemarin kubeli,
“Dah kan, sekarang kamu bisa ngerjain tugas. Sekarang, siapa yang
jahat?”
“Dita,
kamu kan tahu aku nggak bisa gambar Dit, aku cuma minta bantuin
gambar, yang ngarsir kan aku sendiri. Tugas pertama juga aku nggak
jadi minta gambarin kamu lho ya, aku cuma minta bantuin gambar
bintang-bintang.”
“Ha,
masak? bintang..” aku mengingat-ingat, “Oh iya deng.”
“Tuh
kan kamu yang jahat, orang tugas pertama aku buat sendiri kok. Pakai
nyobek segala. Dan kemarin juga aku kan udah cerita, Anan ngajak aku
nonton futsalnya.”
“Hei,
kamu ceritanya pas di kolam. Sama aja kan, kamu juga jahat sama aku.
Aku butuh kamu kemarin, malah ditinggal, aku jadi susah mau ngumpulin
tugas olahraga, padahal kamu tahu flashdiskku lagi ditumpuk buat
tugas lain. Lagian aku kan udah dibalas,” aku masih menunggu Zahra
meminta maaf, bukan menyalahkan aku terus.
“Iya
aku salah, tapi nggak adil,” Zahra menunduk.
“Nggak
adil apanya?” aku bingung mendengar pernyataannya.
“DITAA..!!
Tugasmu, basah kena air AC,” tiba-tiba Fira berteriak, berlari
menuju aku dan Zahra. Aku histeris, mengipas-kipas kertasku yang
basah. Untung tidak begitu banyak basahnya, jadi nggak lecek-lecek
amat.
“Tiga-tiga,
impas,” Zahra menepuk pundakku.
“Ha?”
aku menoleh.
“Kertasku
sobek tiga bagian, kamu dapat tiga balasan. Hilang, flu, basah.. maaf
ya cantik, makasih juga, aku udah nyadar kesalahanku kok,” Zahra
memelukku.
“Hha,
iya impas, aku juga minta maaf ya...” aku balas memeluknya, “Hei,
kenapa aku baru dengar kata maaf sekarang. Zahra, kamu...” aku
menatapnya.
“Kamu
nunggu impas dulu ya?” Zahra menyeringai, cekikikan kemudian
berlari.
“Dasar
Zahra...” aku tertawa kemudian berlarian mengejarnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar