Hello !! >

Hi, welcome to my world, enjoy this blog :D

Sabtu, 07 April 2012

Cerpen - Dia..Malaikat?


Dia.. malaikat ?
…………………………………………………………………………………………………………………………………………
Aku berada di sebuah ruangan kosong, sunyi, sepi. Hanya aku disini. Detik berikutnya, aku melihat dua orang, entah siapa. Sedang berpelukan, seorang ibu dan seorang anak, yang sepertinya seumuran denganku. Siapa mereka? Aku sama sekali tidak mengenal mereka! Baik ibu, maupun anak yang bersamanya. Semua terasa asing. Tempat, suasana. Semuanya! Terutama dua orang di ujung sana.

Mengatup. Angin tidak bertiup.

Lumpuh. Tidak ada gemericik peluh mengaduh.

Diam. Desah nafasku pun tenggelam.

Aku masih menatap dua sosok itu. Entah mengapa, tiba-tiba sang ibu melepas pelukannya. Kemudian pergi. Tanpa kata. Begitu saja. Dan akhirnya, menghilang dibalik kabut putih yang memenuhi seluruh penjuru ruangan. Reflek kutatap sang anak, ingin bertanya.. dimana kita?. Yang kutatap justru berbalik menatapku tajam.
…………………………………………………………………………………………………………………………………………
           

“Mimpi aneh!” gerutuku.
“Yah, mimpimu emang aneh, dan lebih anehnya lagi, cewek dalam mimpimu sama sekali gak pernah kamu liat, masa sih?” komentar Aini.
Aku mengangguk. Aini, seperti biasa selalu tidak puas dengan anggukanku, kembali melontarkan komentar-komentarnya.
“Mungkin di TV, koran, angkot, pasar, atau apalah, kamu pernah lihat! Tapi lupa,” aku menggeleng, malas menjawab dugaan tidak penting itu.
Dari tadi udah kubilang gak kenal, belum pernah lihat, masih saja nanya ini-itu. Kening Aini berkerut, “Jangan-jangan ada alien yang mencuri ingatanmu, dan alien itu membawa ingatanmu ke planet tempat tinggalnya, terus.. eh iya! si alien ngambil ingatanmu karena iri sama kepintaranmu. Ia ingin menjadi yang terpintar di kelas di planet tempat ia tinggal,,, ya! mungkin saja!” sorak Aini seperti baru saja menemukan penemuan hebat yang lebih berguna dari bohlam lampunya Edison.
Dasar aneh. Ah, aku kenal betul sifat Aini, selalu tidak puas pada setiap jawaban dari pertanyaan konyolnya. Jangan coba-coba menanggapi pertanyaan atau analisa konyolnya, kau akan terjebak dengan pertanyaan lain yang lebih konyol, juga analisa lain yang jauh dari masuk akal.
Buat apa cewek dalam mimpiku dipermasalahkan? Mimpi emang nggak bisa ditebak! Ah, kutinggal saja Aini. Sambil bernyanyi plus menutup telinga, aku melangkah meninggalkan Aini yang masih asyik memanggilku.
“Kynan… Kynanti! Duh, kok ninggalin aku? Nggak setia kawan kamu!”.

*****
Dua hari yang lalu…

            “MAMA! Mana baju baru yang mama janji’in? Kynan butuh sekarang,” omelku.
            “Non Kynan, Mamanya lagi sakit kok diomelin? Emangnya buat apa baju baru, baju non masih bagus-bagus lo..” ujar Bi Dinah.
“Buat ke pesta ulang tahun teman Kynan, Bi! Mama lupa ya? ‘kan udah Kynan ingetin kemarin!” bentakku.
“Uhuk..uhuk..” Mama terbatuk. Bangkit dari ranjang.
 “Sabar sayang, Mama sudah titipkan uangnya kok, ke Bi Dinah,” Mama menoleh kearah Bi Dinah “Mana baju Kynan, Bi? Sudah dibelikan bukan?” tanya Mama sabar.
Bi Dinah mengerutkan kening, mencoba mengingat. Sambil garuk-garuk kepala. “Lemot banget sih, Bi Dinah! Mikir aja satu jam, pasti Bi Dinah lupa beli deh, iya kan? Hiih” aku sudah tidak sabar.

Tiba-tiba…

GRUDUK…GRUDUK…JELEGAR!

Petir menyambar, pertanda akan turun hujan. Putus sudah harapanku bisa menghadiri pesta ulang tahun Dian dengan baju baru, berpesta menyanyikan lagu Happy Birthday bersama-sama.
“Tuh kan, mau hujan! Aku jadi gak bisa datang ke pesta dong!” gerutuku. Semua memandangiku, merasa bersalah.
“Hufh… sudahlah,” diam sejenak “Ah! Ini pasti rencana Mama sama Bi Dinah biar aku nggak bisa dateng! Iya kan? Mama sama Bi Dinah pasti sengaja! Biar Kynan tetep di rumah. Jahat!!” aku berlari masuk ke dalam kamar.
Tidak! Aku tidak menangis. Bukan Kynan kalau cengeng. Aku mengambil buku tulis kosong untuk dicorat-coret. Aku tidak memberantakan kamar! Aku hanya mencorat-coret. Itu sebabnya di kamarku terdapat bertumpuk buku tulis kosong. Sangat boros! Memang, tapi tidak merugikan. Kamar nggak berantakan, kaca nggak pecah kena lemparan barang, gendang telinga nggak pecah karena teriakan, rumah tetap tenang.
Kalau marah tangankulah yang bertindak, entah menulis, menggambar, atau hanya sekedar membuat garis-garis tanpa makna di atas buku tulis kosong. Terserah kau mau anggap aku apa. Pemboros? Terserah. Gila? emang gue pikirin! Kreatif? Itu yang membuatku senang.

*****

“Anak-anak, kita kedatangan murid baru! Silahkan masuk, perkenalkan dirimu,” ucap Bu Betha. Semua mata menatap kearah pintu masuk, menyambut langkah anak baru itu.
Cantik ya!” komentar anak perempuan yang duduk di depanku, aku setuju. Anak baru emang cantik. Apalagi begitu masuk dia menebar senyum yang memesona, semakin cantik saja parasnya.
 “Solihah, pakai jilbab sih” komentar yang lain, yang ini aku tidak setuju. Aku juga berjilbab tapi tak pernah dipuji solihah. Uh.. tidak adil!.
“Assalamualaikum, nama saya Fina, saya pindahan dari Bandung, semoga teman-teman mau menerima saya” suaranya lembut.
Aku jadi tertarik ingin bertanya “Orang tuamu kerjanya pindah kota ya?” anak perempuan bernama Fina itu mengangguk.
“Kenapa kamu nggak menetap aja, biar orang tuamu yang pindah-pindah?” aku terdiam sejenak “Kebetulan Ayahku kerjanya juga sering pindah kota, tapi aku tetep di Semarang,” lanjutku.
“Nggak apa-apa, cuma, aku sangat sayang kepada mereka,” suaranya terdengar semakin lembut di telingaku.
“Baiklah, Fina silahkan duduk di pojok sana, acara perkenalannya dilanjutkan saat istirahat nanti. Buka buku matematika kalian, kita masuk ke BAB baru, Theorema Pythagoras” semua anak mengeluh, ah… matematika. Pelajaran paling mematikan dimuka bumi.

*****

Kring…kring… bel istirahat berbunyi.
Hana sang ketua kelas memimpin doa, “Perhatian. Berdoa sesuai keyakinan masing-masing, berdoa mulai,” semua anak berdoa, “Berdoa selesai” tanpa komando, begitu Ibu Guru keluar dari kelas, seluruh anak ramai mengepung kantin sekolah. Salah! Tidak semuanya, Fina membaca buku di halaman sekolah. Terlalu rajin anak ini, pikirku.
Usai membeli jajan di kantin, aku memutuskan mengobrol dengan Fina. Aku setengah berlari menuju halaman sekolah, dengan es krim vanila ditangan kananku. Aku tidak melihat ada batu di bawah kakiku, es krimku kepental, aku jatuh. Aku menoleh kearah Fina, meminta bantuan. Fina melihatku terjatuh, berdiri. Ice cream yang kupegang menimpa kepalaku, dingin. Pusing, gelap.
…………………………………………………………………………………………………………………………………………
Aku berada di sebuah ruangan kosong, sunyi, sepi. Hanya aku disini. Detik berikutnya, aku melihat dua orang, entah siapa. Sedang berpelukan, seorang ibu dan seorang anak, yang sepertinya seumuran denganku. Siapa mereka? Aku sama sekali tidak mengenal mereka! Baik ibu, maupun anak yang bersamanya. Semua terasa asing. Tempat, suasana. Semuanya! Terutama dua orang di ujung sana.

Mengatup. Angin tidak bertiup.

Lumpuh. Tidak ada gemericik peluh mengaduh.

Diam. Desah nafasku pun tenggelam.

Aku masih menatap dua sosok itu. Entah mengapa, tiba-tiba sang ibu melepas pelukannya. Kemudian pergi. Tanpa kata. Begitu saja. Dan akhirnya, menghilang dibalik kabut putih yang memenuhi seluruh penjuru ruangan. Reflek kutatap sang anak, ingin bertanya.. dimana kita?. Yang kutatap justru berbalik menatapku tajam.
Ia mendekatiku pelan, matanya sendu, menitikkan air mata.
“Jangan jadi sepertiku. Jangan sia-siakan waktu.” Ucapnya.  Aku tidak mengerti, tapi berusaha memahami kejadian pada detik-detik yang lalu.
…………………………………………………………………………………………………………………………………………

“Kynan, sadarlah!” terdengar suara samar-samar.
Itu suara Fina dan Aini. Aku melihat sekeliling, memulihkan kesadaranku. UKS! Aku berada di UKS, ditemani Fina dan Aini.
“Tadi kamu pingsan,” terang Fina.
“Kamu kenapa sih Kyn, sakit? Kalau sakit lebih baik jangan masuk sekolah, atau… jangan-jangan si alien yang menjatuhkanmu?” cemas Aini.
Aku menatap Fina, matanya seperti bercahaya, entah kenapa.
“Ehm, Aini, makasih. Aku nggak apa-apa kok, maaf sebelumnya, aku pengen ngomong sama Fina, tapi jangan nguping yah, hehe, plis…” aku memohon. Aini meninggalkanku tanpa banyak bertanya.
“Sebenernya kamu ini siapa?” tanyaku.
“Hey, aku Fina. Tadi kan udah kenalan,” jawabnya polos, “Emangnya kenapa?” Fina balik bertanya.
 “Aku kan sebelumnya nggak kenal kamu, nggak pernah ngelihat kamu, tapi… kenapa, saat aku kenal kamu, tiba-tiba aku mengulang mimpi yang sama namun dengan bagian yang baru? Aku pikir, kamu bukan orang biasa?” kataku ragu-ragu.
“Kamu ini ada-ada aja, aku manusia biasa, kok! Ehm… kalau nggak keberatan, ceritain mimpimu dong? Aku penasaran..” pinta Fina.
Aku menarik nafas, menceritakan mimpiku, persis seperti saat aku menceritakan mimpiku pada Aini, namun yang ini kutambahkan bagian yang baru. Fina endengarkan dengan serius.
“Mungkin, Allah ingin ngingetin kamu sama kesalahanmu, coba deh inget-inget kesalahan apa yang kamu lakuin akhir-akhir ini?” kata Fina. Aku mencoba mengingat kesalahanku.
Aku teringat kejadian dua hari yang lalu. Saat aku marah sama Mama. Membentaknya. Memfitnahnya, “Dua hari lalu aku marah sama Mamaku, apa jangan-jangan itu kesalahanku?” tanyaku hati-hati.
Fina tersenyum, “Kamu udah minta maaf?” aku menggeleng.
“Nah! Kamu harus minta maaf sama mamamu! Marahan sama temen aja nggak boleh, apalagi sama Mama yang melahirkan kita,” Fina menghela nafas “Mungkin Allah ngingetin kamu lewat mimpi itu, nah! sekarang kan kamu udah tau apa salahmu, cepat minta maaf aja, sebelum terlambat. Sebelum kejadian yang nggak kamu inginkan terjadi,” nasihatnya.
“Tapi.. apa maksudnya?” tanyaku lagi.
“Pikirkanlah baik-baik dan Jangan lakukan kesalahan yang sama. Dah tuh kasian sahabatmu, pengen ketemu kamu,” Fina tersenyum kemudian meninggalkanku.

*****
           
Sepulang sekolah, aku berlari menuju kamar, memeluk dan mencium Mama, meminta maaf. Aku melihat Mama pun menangis, tangisan bahagia.
“Iya sayang, mama maafin kamu kok. Makasih ya sayang… Alhamdulillah,” bisik Mama di telingaku. Air mataku pun ikut menetes.

*****

Keesokan harinya, ketika aku ingin berterimakasih pada Fina, Bu Betha mengabarkan kepindahan Fina. Orang tuanya mendadak mendapat tugas ke luar kota lagi. Sehingga Fina tidak sempat menyampaikan ucapan perpisahannya pada teman-temannya.
Fina, malaikatku, pergi. Yah, meskipun aku yakin Fina sebenarnya hanyalah manusia biasa, namun aku menganggapnya malaikat. Terimakasih Fina,. :D

*****

Catatan kecil : Cerpen ini adalah cerpen pertamaku di SMP, sekaligus cerpen pertama yang aku ikutin lomba, yang diadakan oleh OSIS SPANDA Angkatan 3. Judul aslinya masih kaku banget, “Temanku Malaikatku”. Beberapa bagian udah tak edit, dan judulnya tak ganti jadi “Dia.. Malaikat?”. Terimakasih sudah membaca, semoga bermanfaat.. :D

1 komentar: