“Far!” panggilku. Yang dipanggil tidak menyahut, entah hanya perasaanku atau
memang benar adanya, dia seperti membuang muka dariku.
“Fara! Tunggu..” aku setengah berlari mencoba
mendekat, mensejajari langkahnya di koridor.
“Aduh, aku lupa!” Fara menepuk
jidat, kemudian seakan aku tidak lebih dari bayangan, dia berlari kesetanan,
kembali ke kelas. Hei, Fara, bahkan setelah bel tanda berakhirnya kegiatan
belajar mengajar berbunyi pun kamu nggak mau bersamaku? Bah! Entahlah, aku
yakin bukan cuma firasat. Terang sekali Fara mencoba menjauhiku. Bahkan aku
yakin Fara tidak benar-benar meninggalkan sesuatu di kelas.
Oke, baiklah. Jika 100 kilometer
adalah batas kesabaran yang bisa ditempuh seseorang, maka aku sudah berlari
sejauh itu dan kini aku berada di kilometer ke 101. Dan bila air sedanau
digunakan untuk menakar sebanyak apa senyum yang mungkin kumiliki, maka kamu
sudah menegak habis seluruhnya. Danau itu kering, sekering senyumku. Aku harus
bisa menerima kenyataan ini.Hari ini mungkin menjadi ulang tahun terburukku
sepanjang masa. Aku mendengus kesal, kemudian meninggalkan sekolah.
***
Ya, entah apa yang terjadi dengan Fara. Aku benar-benar buta akan duduk permasalahan. Fara marah? Tidak biasanya dia bersikap dingin seperti tadi. Ingatan manusia memang terbatas, tapi, sepanjang yang bisa kuingat, aku tidak mengucapkan sepatah kata menyakitkan pun, atau melakukan tindakan yang bisa dibilang wajar membuatnya marah.
Tidak hari ini, tidak kemarin.
Bahkan kalau ingatanku mampu menyentuh hari-hari dibelakang dan dibelakangnya
lagi, sepertinya tidak. Baru hari ini Fara mendiamkanku. Kemarin saja kami
masih asyik mengobrol layaknya sahabat yang baru bertemu setelah sekian tahun
terpisah. Oh, kurasa aku hiperbolik. Intinya aku heran, jengkel, marah.
Hp-ku
berdering, telepon masuk.
“Halo.”
“Halo, ini Nina?” suara khas nenek-nenek
menyapa telingaku. Ada dua yang kuserap. Satu, ternyata nenek yang
menelepon. Dua, ternyata nomor
nenek belum tersimpan di kontak.
“Iya Nek, ini Nina,” jawabku singkat, namun
riang.
“Selamat ulang tahun ya Nina, maaf nenek nggak
bisa kasih apa-apa,” suara ceria khas nenek-nenek cukup membuat senyumku
kembali. Kemudian obrolan khas nenek dan cucu dalam telepon pun mengalir.
Wejangan satu-dua, kabar kesehatan keluarga, dan lain-lain kemudian berakhir
dengan titipan salam untuk masing-masing anggota keluarga.
Sebenarnya aku ingin telepon itu dari Fara,
meskipun nomor yang tertera bukan nomor Fara yang kusimpan. Detik-detik pertama
suara nenek menyusup, aku berharap itu milik Fara, meskipun sedetik kemudian
suara itu sudah beradaptasi dan kukenal benar sebagai suara nenek. Dan meskipun
untuk sedetik yang lalu senyumku kembali, itu belum cukup untuk hari ini, my sweet seventeen. Sangat kurang untuk
membuatku merasa spesial, walaupun untuk kisaran waktu 24 jam ini.. saja.
Spesial. Buang saja kalimat itu. Sumpah palsu
kanak-kanak ompong nan ingusan.
***
“La..la..la..la..la..laa..” dua
gadis kecil saling berpegangan tangan, berjalan beriringan menuju bukit
belakang rumah. Bersenandung riang ala Lala Telletubbies.
Yang satu Fara 110 cm, yang lain
Nina 115 cm. Dengan selisih tinggi badan yang tidak terlampau jauh, bangku yang
selalu berdampingan , rumah yang bersebelahan yang bahkan memungkinkan untuk
saling menyapa lewat jendela kamar masing-masing sebelum tidur, menjadikannya
pantas menyebut dua gadis tersebut sebagai sahabat.
“Nin, buat janji sahabatan yok,”
ajak Fara 110 cm dengan rambut ikat dua-nya.
Nina, gadis 115 cm dengan rambut dora-nya mengangguk. Dalam beberapa
menit kedua gadis itu berdiskusi, kemudian berteriak lantang, meskipun beberapa
kali salah dan berkali-kali mengulang teriakan mereka.
“Kami adalah sahabat yang paling
spesial. Fara dan Nina, spesial selamanya di hati! Ye.. ”
***
Saat ini, sudah lewat sekian tahun dari sumpah
perdana itu. Aku, Nina, saat ini sudah setinggi 163 cm dan bukan lagi gadis
berambut dora, tentu saja. Dan Fara, selisih tingginya saat ini bahkan semakin
tipis denganku, dia 161. Dan bukan sesuatu yang ‘wah’ tentunya, dia berbeda
sekali dengan Fara sekian tahun yang lalu. Apalagi hari ini, sama sekali bukan
Fara yang menyenangkan. Sisa-sisa aura menyenangkan yang biasa tampak padanya
sepertinya hilang bagai debu tersapu badai. Tanpa bekas.
Di sisa waktu yang sedikit dari 24 jam spesial ini, aku sudah pasrah. Sudah
tidak ada lagi yang bisa mengubah beberapa jam yang belum kulalui, setara
dengan 24 jam penuh kesenangan seperti yang kuinginkan. Aku bahkan tidak
berniat keluar dan mengintip taburan berlian di lautan hitam yang seakan
memayungi bumi itu. Aku memandangi beberapa bingkisan dari orang-orang
terdekatku. Sedetik, dua detik. Kemudian aku memutuskan.
Tadinya aku berjanji pada diriku
sendiri bahwa kado pertama yang akan kubuka adalah kado dari Fara, sahabatku. Namun, mungkin Fara lupa, atau bahkan
pura-pura lupa dan sengaja menjauhiku, entah kenapa.
“NINA !!” aku tersedak, hampir saja aku
merobek bungkusan pertama kalau pintu kamarku tdak dibuka dengan paksa dan dia
tidak masuk sambil menjerit. Mataku terbelalak juga, itu Fara!.
“Ikuti aku,” Fara menutup mataku dengan
selembar kain dan menuntunku entah kemana. Namun begitu Fara membantuku memakai
sandal dan udara dingin membelai kulitku, cuma satu yang aku pikirkan. Bukit
belakang rumah. Dan ternyata tebakanku tepat.
“Happy birthday Nina, happy birthday Nina,
happy birthday, happy birthday, happy birthday Ninaa…” Fara membuka penutup
mataku. Begitu seluruh fokus sudah berkumpul di mataku, pemandangan bukit nan
indah menyambutku. Dengan lilin-lilin yang belakangan kuhitung jumlahnya 17
bertebaran di sudut-sudut yang menawan dipandang dari tempatku berdiri.
Beratapkan langit dengan kilau bintang yang sempurna, dan lihat. Fara, orang
yang sepanjang hari membuang muka dariku, berdiri dengan kue coklat berbentuk
bintang. Hei, tahukah kalian? Aku sangat, sangat menyukai coklat, dan bintang,
dan… aku speechless.
Selama ini aku jarang menangis, namun kali ini
ttidak mampu kubendung sekeras apapun aku mencoba. Aku benar-benar menangis.
Fara memelukku hangat dan membimbingku mengikrarkan sumpah persahabatan
bersama-sama.
“Kami adalah sahabat yang paling spesial. Fara
dan Nina, spesial selamanya di hati! Ye.. ”.
***
Kawan, bahkan tanpa harus kujabarkan semua
disini, kalian tentu bisa menyimpulkan sendiri. Bahwa beberapa jam yang tersisa
dari 24 jam yang kuharapkan, mampu mengembalikan seluruh air di danau senyumku.
Bahwa beberapa jam terbaik ini, sempurna menghapus berjam-jam mengesalkan yang
sempat membuatku marah. Bahwa sahabat sejati, selalu memberikan yang terbaik.
Dan bahwa, pantas bagiku mengatakannya.
“Fara, You Are My Special!”.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar