IS
is IStimewa. Mungkin yang membaca ini akan menarik kesimpulan, “Halah, tulisan ini dibuat sama anak IS, jadi
wajar dikatakan IS is IStimewa”. Yah, itu juga salah satu alasanku.
Meskipun awalnya passionku ada di
program bahasa, namun ternyata takdir berkata lain. Inilah takdirku, sebagai
anak IS, dan aku bangga! IS is IStimewa. Atau kalau ada yang berkomentar “Ngawur nih, bahasa Indonesia campur bahasa Inggris.”
Suka-suka dong, ini bukan tentang tata bahasa, ini hanya isi pikiranku yang
ingin kutumpahkan.
Sayangnya, banyak yang meremehkan
IS,
kalimat inilah yang melatarbelakangi lahirnya tulisan ini. Banyak anggapan
bahwa anak IS itu tidak pintar. Kalau
definisi pintar disini hanya sebatas mampu mengolah angka dan rumus atau mampu menyelesaikan soal fisika, tentu
nggak adil bagiku, bagi kami, anak IS. Setekun apa pun kami, sebaik apa pun
kami, bila definisi pintar hanya sebatas itu, tentu kami akan tetap terlihat
bodoh. Sebaliknya mereka, anak IPA, seperti apa pun tetap saja akan terlihat genius. Bila definisi pintar hanya
sebatas itu.
Kenyataannya
pintar itu luas, kecerdasan itu luas kan? Ilmu itu nggak hanya sebatas fisika,
kimia, biologi. Kami anak IS punya sosiologi, ekonomi, geografi (meskipun di
perguruan tinggi ilmu ini masuk kategori IPA) yang tidak dipelajari anak-anak
IPA. Anak IPA, logika mereka memang lebih bagus dari anak IS. Nggak heran,
setiap saat mereka diberikan angka-angka dan rumus untuk mereka selesaikan,
sementara anak IS hanya diberikan teori dan teori.
Ada
pula anggapan bahwa IS itu hanya hafalan dan hafalan. Jangan salah, pelajaran
IS memang banyak mengandalkan memori karena banyak hafalannya, namun kami anak
IS juga dilatih untuk menganalisa permasalahan sosial. Sebagai anak IS kami
dilatih untuk mampu menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang ada. IPA dan
IPS memang berbeda, kawan. Tapi bukan berarti IS lebih buruk.
Jangan sekali-kali
meremehkan anak IS.
Secara
umum, anak IS memang lebih banyak ulah dibandingkan anak IPA. Yang membolos
lah, yang ramai saat pelajaran lah, yang cerewet lah, yang susah diatur lah. Tapi,
bukan mustahil anak IPA juga ada yang berbuat seperti itu kan?
Cobalah
berhenti merendahkan kami. Anak IS bukan anak nakal, tapi kreatif. Nggak
bisa diam. Otaknya selalu bekerja dan dipenuhi ide, sehingga menciptakan rasa gatal bila tidak berulah. Bila ide
dan rasa gatal ini diarahkan kearah yang
positif, maka kalian yang sempat meremehkan IS akan terpukau melihat kehebatan
kami, anak IS. Bila anak IPA itu pintar, maka
anak IS itu kreatif.
Kata
salah satu guruku, sekian tahun setelah kelulusan tahun sekian, yang menjadi panitia
reuninya kebanyakan anak IS. Ini cukup membuatku bangga sebagai anak IS.
Sedangkan
bagiku sendiri, ada suka duka belajar IS. Terkadang teori-teori yang terlalu
banyak itu menyebabkan ngantuk atau bosan saat pelajaran berlangsung. Namun nggak
jarang juga materi yang diberikan terasa sangat menarik, salah satunya yaitu
pelajaran sejarah.
Mungkin
kalian juga akan berpikir “Apa asyiknya
belajar sejarah? Hanya mempelajari masa lalu, move on dong!”. Yah, itu hak
kalian untuk berpendapat. Namun bagiku, belajar sejarah itu sangat asyik. Seperti
membaca cerpen, atau novel. Menyenangkan, tanpa beban. Anak IPA juga dapat pelajaran
sejarah, namun tidak sedetail anak IS. Detail inilah yang membuatku merasa
tertarik. Menghubungkan silsilah raja-raja, menghubungkan peristiwa ini dengan
peristiwa itu, kemudian mangut-mangut sendiri ketika berhasil menemukan benang
merahnya. Rasanya asyik sekali.
Selain
asyik, proses belajar kami terasa sangat santai. Santai, mengalir, tidak
terlalu dituntut ini itu. Mungkin sedikit terbebani dengan banyaknya hafalan,
namun rasanya tetap saja. Aku nggak pernah lagi merasakan ketakutan luar biasa
ketika bingung menghadapi soal, seperti apa yang dulu aku alami di pelajaran
fisika di kelas X. Rumitnya, masya Allah.
Ekonomi-akuntansi
juga sedikit rumit, namun tidak separah fisika. Sebagai anak IS, aku merasa
sangat senang dan… bebas! Seperti tidak terlilit beban yang terlalu erat. Hm,
ini juga alasanku nggak memilih program IPA ketika program bahasa tidak dibuka-karena
tidak memenuhi kuota- di SMA ku. Aku nggak suka fisika.
Tapi
fakta lain tentang jurusan IS di SMA ku, bisa dikatakan pada tahunku ini, IS
adalah pilihan. Bukan buangan. Empat kelas full 30 anak, kelasku saja sampai 32
siswa. Padahal jurusan IPAnya saja ada yang tidak mencapai 30. Dibandingkan dengan
tahun sebelumnya yang hanya 20 anak per kelasnya, jelas kan, IS tahun ini
merupakan pilihan.
Fakta
lain, anak IS angkatanku juga pintar mengatur keuangannya sendiri. Anak IPA
juga ada, tapi di kelasku spesial. Ada yang jualan pulsa, baju, tas, sepatu, wallsticker, Tupperware, alat tulis,
sampai jualan makanan ringan. Bahkan yang kusebutkan tadi, seluruhnya ada di
kelasku, 5 orang ada, lebih mungkin. Di kelasku, hampir seperti toserba,
pelajar butuh apa? Ada! Mungkin setelah lulus nanti, akan berkembang menjadi
masyarakat butuh apa? Ada!
Sebenarnya
tidak masalah kalau kamu IPA dan bangga menjadi anak IPA, jujur aku tetap
merasa kagum karena kalian mampu mengalahkan fisika, momok yang kutakuti. Bukan
berarti pula aku menyombongkan IS dan diriku sebagai anak IS. Aku hanya ingin
menumpahkan seluruh uneg-unegku disini. Seperti apa pun IS di mata kalian semua
yang membaca tulisan ini, aku tetap pada keyakinanku, bahwa IS itu IStimewa! IS is IStimewa! :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar